21 March 2009

RUKUN KEBAHAGIAAN

Menurutku, kebahagiaan dan ketidak bahagiaan (maksudnya : bukan kaya dan miskin) pada seseorang secara alamiah (sunatullah) akhirnya secara totalitas, pada kurun waktu tertentu sesuai jatahnya, akan diperoleh dengan jumlah (kapasitas) tertentu dan seimbang.
Dengan ikhtiar (ikhtiar seperti apa ?) kita bisa “memilih” mau manis, manis dulu kemudian pahit, pahit; atau pahit, pahit dulu kemudian manis, manis; atau pahit, manis bergantian.
Kadang kala kita mungkin mendapat kesan bahwa ada juga yang sepertinya manis, manis, dan manis terus; atau pahit, pahit, dan pahit terus. Kesan itu dalam realitanya bisa YA atau TIDAK. Kenapa bisa TIDAK ? Ingat bahwa : “Apa yang kita amati bukanlah realita itu sendiri melainkan realitas yang diungkapkan oleh cara pikir kita”. Jadi mungkin saja cara pikir kita itu keliru, sehingga realitas yang sebenarnya tidak seperti kesan yang kita dapat itu. “Jangan pernah menganggap apa yang nyata itu sebagai kebenaran”. Dan sejatinya : “hidup itu adalah seni menikmati manis dan pahitnya kehidupan”. Jadi normalnya, manis dan pahit itu gantian.
Bisa juga YA. Lha koq bisa manis terus atau pahit terus ? Kalo gitu manis dan pahit gak seimbang lagi dong ??? Yaa bisa saja kalo keseimbangan itu didobrak oleh “ikhtiar” atau “tidak berikhtiar” yang “LUAR BIASA”, sehingga hasilnya manis terus atau pahit terus. Di sinilah peran UDoSTIn yang mestinya dipahami sampai merasuk ke dasar kalbu. Usaha (ikhtiar) terus menerus dengan cara baik dan benar; Do’a yang khusyu dan tulus; Syukur bila sukses; Tawakal dan Introspeksi diri bila tidak suskses. Pada akhirnya, jangan lupa : hidup itu dunia akhirat; dan Allah itu MAHA ADIL lho !
Di bawah ini ada sebuah artikel (dari harian Republika) yg mungkin agak relevan dgn uraian ini.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Wassalaam,
Muhdin


Rukun Kebahagiaan
Oleh Ma'ruf Mq
(http://www.republika.co.id/koran/25)

Setelah gelap terbitlah terang. Begitulah kira-kira perumpamaan kehidupan ini. Bagi siapa pun, kesusahan atau kebahagiaan selalu datang silih berganti. Keduanya selalu hadir dalam kehidupan, meski dengan proporsi yang berbeda.
Ada yang mengalami setengah kesenangan dan kebahagian. Ada pula yang merasa hidupnya lebih banyak kebahagiaannya, atau malah sebaliknya, merasa lebih banyak kesusahannya, sehingga kebahagiaan seperti menjauhi kehidupannya.
Simak kisah Nabi Ayub yang mendapatkan proporsi kesulitan yang cukup besar dalam hidupnya. Firman Allah SWT, ''Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, '(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Mahapenyayang di antara semua penyayang'.'' (QS Al-Anbiyaa [21]: 83).
Bagaimana ikhtiar supaya proporsi kesenangan lebih banyak dirasakan daripada kesusahan? Padahal, senang dan susah tidak dapat tidak, mesti berganti-ganti datang dalam kehidupan.
Buya Hamka, seorang ulama yang memiliki andil besar dalam menghadirkan tasawuf modern, menyebutkan empat rukun agar kebahagian yang bersemayam dalam kehidupan manusia, lebih banyak terasa dibandingkan kesusahannya.
Pertama, sehat tubuh. Selain menjaga kesehatan fisik, disebutkan juga bahwa seseorang hendaknya menjauhi sifat hasad. Karena, dengan sifat hasad, “maka susahmu, miskinmu, dan sakitmu akan menjadi berlipat-lipat”.
Kedua, sehat akal, ingatan, keteguhan pendapat dan pikiran. Perjuangan hidup memang senantiasa menghendaki kepayahan akal. Oleh karena itu, akal yang cepat mengeluarkan pendapat, merespons realitas, dan selalu pula melihat apa yang di belakang yang tampak di mata, harus selalu diasah, sehingga menghadirkan kemenangan sekaligus kebahagiaan.
Ketiga, sehat jiwa, yang merupakan derivasi dari keimanan kepada Allah SWT. Namun, akan tidak berarti apa-apa sekiranya sehat rohani itu hanya dijadikan jargon saja, dan tanpa memberikan efek nyata dalam kehidupan.
Sebagai kulminasi dari ketiga rukun tersebut, adalah sebuah pepatah yang sangat berharga, yaitu “kekayaan adalah pada perasaan telah kaya”. Bila seseorang telah merasa kaya, sepeser pun tak berarti kekayaan itu kalau belum dipergunakan untuk kemaslahatan umum, membela fakir miskin, dan menyucikannya dengan berzakat, infak, dan sedekah.
Oleh karenanya, perlombaan dalam mengarungi lautan kehidupan, meniscayakan perlombaan dalam melakukan penyucian jiwa. Akhirnya, hanya orang yang melengkapi keempat rukun itulah yang akan selalu merasa bahagia, meski dalam kenyataan, proporsinya jauh lebih kecil.
---------------------------------------

1 comment:

Ruang Hikmah said...

mampir ya ke blog saya