03 September 2008

Puasa Tanpa Hura-hura

Shaum adalah kewajiban bagi muslim dan mukmin. Untuk menjalaninya perlu pemahaman tentang hakekat shaum ini, agar kita tidak hanya sekedar mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Shaum sesungguhnya adalah sebuah proses mengasah diri yang harusnya berefek positif terhadap jasmani dan rokhani kita. Sebuah proses yang selain membuat kita lebih sehat walafiat, juga dapat memperbaharui dan meningkatkan kualitas ketaqwaan kita.
Di bawah ini saya kopikan sebuah tulisan dari seorang teman, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita untuk mengingatkan kembali tentang sekelumit hakekat shaum.
Wass.
Muhdin

Puasa tanpa hura-hura
Oleh : Khusnul Yaqin

Judul di atas tampaknya kurang logis. Hal itu karena memang seharusnya puasa adalah sarana untuk menekan, meminimalisir bahkan menghapus sama sekali kehidupan yang hura-hura melalui laku bathin merasakan lapar dan dahaga pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu puasa sudah seharusnya tanpa hura-hura. Akan tetapi kenyataan yang kita lihat dan kita alami bertahun-tahun menunjukkan bahwa pada saat bulan Ramadhan harga barang-barang kebutuhan pokok dan juga yang tidak pokok meroket. Pasar dan mall lebih banyak dipenuhi pengunjung pada bulan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Salah satu yang memicu kenaikan harga itu adalah kebutuhan masyarakat pelaku puasa yang meningkat pada saat bulan Ramadhan. Ironisnya harga barang-barang kebutuhan pokok itu semakin melesat ke atas ketika laku puasa akan berakhir. Hal itu sebagai respon dari kebutuhan pelaku puasa yang melambung untuk merayakan hari yang disebut sebagai hari kemenangan, hari raya Idul Fitri.
Kenyataan ini membuktikan bahwa puasa yang kita lakukan selama ini adalah puasa yang justru meningkatkan kemampuan konsumsi kita atas materi. Puasa yang kita jalani tidak sekadar memindahkan waktu memamabiak dari pagi dan siang ke malam hari, tetapi juga melambungkan kebutuhan materialitas kita yang sangat ditentang oleh Rasulullah. Puasa kita kenyataannya adalah puasa yang penuh kemewahan dan hura-hura. Laku puasa yang cuma memindahkan waktu makan dan minum serta kebutuhan biologis yang lain, bukan saja tidak memenuhi taraf kesehatan lahiriyah, tetapi juga tidak akan pernah menjangkau taraf kesehatan bathiniyah. Alih-alih memperoleh kesehatan, justru puasa glamour yang kita lakukan hanya akan membuat semakin terpuruknya kesehatan lahir kita dan semakin menjerembabkan kesehatan bathin pada tingkatan yang paling tragis. Secara lahir puasa glamour akan meningkatkan eksploitasi atas alam dan isinya, dan secara bathin akan semakin menumpulkan kesadaran sosial kita. Model puasa seperti ini disebut oleh Rasulullah sebagai model puasa yang hanya memperoleh lapar dan dahaga. Puasa seperti itu menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan pesta pora kelompok mampu dan penguasa dengan berbagai bentuk eksploitasi dan manuver ekonomi dan politiknya, sebagaimana yang tampak meriah di layar televisi.
Akhirnya setelah pesta Ramadhan usai, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin terpuruk dan berantakan. Kalau kita sedikit saja menelisik ajaran Nabi Muhammad tentang puasa, kita akan mendapatkan bahwa puasa adalah sarana menjadikan individu, masyarakat dan lingkungan menjadi sehat. Berpuasalah agar kamu memperoleh kesehatan, begitu sabda baginda Nabi Muhammad saw.
Tentunya Rasulullah tidak hanya memaksudkan bahwa kesehatan itu sekadar kesehatan jasmani, tetapi yang lebih penting adalah kesehatan ruhani. Kesehatan kesadaran bathin kita.
Puasa Nabi adalah puasa untuk meretas keterikatan kita pada duniawi. Puasa yang diajarkan Nabi adalah puasa untuk detoksifikasi. Dengan puasa Nabi, organ-organ pencernaan kita sejenak diistirahatkan untuk mencapai titik keseimbangan baru yang harmonis dan sehat. Proses menuju keseimbangan itu merangsang organ-organ tubuh kita untuk rame-rame menghilangkan racun yang sengaja atau tidak sengaja bercampur dengan makanan kita. Negeri seperti Indonesia yang bukan saja tidak ketat mengatur kesehatan lingkungan, tetapi juga longgar dalam mengontrol produksi sumber-sumber pangan, memungkinkan berbagai racun yang daya racunnya ringan sampai berat terikut atau diikutkan pada bahan-bahan yang kita konsumsi. Dengan laku puasa Nabi, racun-racun itu kita detoksifikasi, kita buang dari tubuh kita.
Pada tingkat selanjutnya, puasa Nabi mengantarkan kita untuk sedikit demi sedikit meretas keterkaitan kita dengan materi. Dengan laku puasa Nabi tingkat kebutuhan kita terhadap materi semakin menurun, sehingga derajat pilihan kita terhadap materi semakin meningkat. Dengan puasa Nabi kita diajarkan untuk tidak serampangan mengonsumsi materi, tetapi memilihnya untuk kesehatan individu dan lingkungan.
Rasulullah bersabda ketika kamu berpuasa tempatkan dirimu pada kedudukan seorang yang sedang sakit yang tidak memiliki nafsu makan dan minum. Sebelum laku puasa, hampir semua keinginan nafsu kita penuhi. Selama dan setelah puasa, nafsu memamabiak itu kita tekan dan jauhi, karena kesadaran bathin kita telah terbebas dari kenikmatan semu materi. Barang yang kita konsumsi semakin sedikit.
Kita tidak lagi terbius dengan iklan barang-barang yang dijajakan, tetapi kita memenuhi kebutuhan materi berdasarkan pada kebutuhan kita yang semakin minimal dan subtansial. Dengan demikian, masyarakat yang telah berpuasa tidak lagi dikontrol oleh produsen, tetapi sebaliknya publiklah yang mengontrol produsen untuk memproduksi barang-barang yang menyehatkan baik dari sisi individu maupun lingkungan juga dari sisi lahir dan bathin.
Secara sosial, rasa lapar dan dahaga yang kita alami mengantarkan bathin kita untuk merasakan penderitaan mereka yang tidak beruntung secara ekonomi. Kesadaran bathin yang telah dipupuk selama Ramdahan semakin akan menyakinkan kita bahwa kemiskinan bukan sekadar takdir, tetapi ia adalah juga reality constructed. Keberadaan para fakir dan miskin muncul bukan cuma karena mereka tidak berketerampilan sehingga tidak produktif, tetapi mereka adalah kenyataan yang diinginkan oleh sistem ekonomi dan politik tertentu. Kemungkinan lain, mereka ada karena entropi dari suatu sistem ekonomi dan politik yang dibangun. Karena kebutuhan materi kita semakin minimal dan substansial sebagai buah laku puasa Nabi, keinginan berbagi secara kolektif dan konstrukstif kepada mereka yang tidak beruntung secara ekonomi semakin meningkat. Disinilah pentingnya zakat setelah Ramadhan yang menjadi bagian yang wajib setelah berpuasa. Zakat fitrah setelah laku puasa Nabi, bukanlah kebaikan si mampu kepada si fakir dan miskin, tetapi zakat adalah upaya untuk mensucikan entropi suatu sistem sosial dan politik yang kita bangun. Dengan pemahaman seperti ini zakat bukan hanya sekadar bagi-bagi beras atau uang kepada si miskin, tetapi zakat juga merupakan proses detoksifikasi mekanisme ekonomi dan politik yang rakus agar sistem sosial kita mencapai kesetimbangan baru yang harmonis. Oleh karena itu zakat sebagai bagian tak terpisahkan dari laku puasa Nabi harus diorganisir dan dilakukan dengan kesadaran laku puasa Nabi untuk mengurangi entropi yang terbentuk. Zakat harus bisa menstimulasi kesempatan berekonomi dan berpolitik bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga keadilan sosial, ekonomi dan politik yang menjadi genre Islam Muhammadi bisa diwujudkan.
Dengan cara itu laku puasa di bulan Ramadhan tidak akan menstimulasi datangnya bencana ekonomi dan lingkungan dengan meningkatnya konsumsi materi dan ekploitasi alam yang berlebihan, tetapi bulan Ramadhan akan memunculkan berkah, rahmah dan ampunan. Dengan demikian Ramadhan menjadi pelindung umat manusia dan komponen ekosistem yang lain dari segala bencana. Nabi Muhammad saw bersabda puasa itu perisai dari bencana-bencana dunia dan penghalang dari siksa akhirat. Mari kita berpuasa tanpa hura-hura agar bencana tidak lagi menimpa negeri kita.
Wass.
kyaqin
Cibanteng, 29 Sya’ban 1429 H/31 Agustus 2008.

No comments: